Saya yakin setiap wanita yang berstatus "istri" atau pun yang akan "menjadi" istri pernah atau akan bertanya-tanya akan menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga. Kalau menurut pendapat pribadi saya, menjadi "ibu rumah tangga" bagi seorang istri itu adalah suatu keharusan. Pilihannya, seorang wanita juga bisa menjadi wanita karier.
Ibu rumah tangga dalam arti yang seperti apa? Dalam arti melakukan kewajiban. Kewajiban seperti apa? Menyapu, mengepel, memasak, mencuci baju, menyetrika, mendidik anak, mengurus anak? Bukan! Bukan hal seperti itu. Kewajiban seorang istri yang bersifat kodrati yaitu seperti mengandung dan melahirkan. Dan tidak ada kata "melayani" suami. Karena layaknya sebuah hubungan intim adalah keterlibatan dua orang suami istri. Dan tentunya bukan hal sepihak saja yang membutuhkannya.
Seperti dilansir WWW.TVSHIA.COM. Makalah dengan judul "Kewajiban Seorang Istri Yang Sebenarnya". Sebelum saya mengutip makalah itu, perlu saya sampaikan bahwa ini bukan tentang masalah gender, saya hanya ingin menyerukan dan membesarkan hati para "istri" bahwa mereka sungguh mulia. Mereka memiliki ladang pahala yang luas. Agar para istri tidak berkecil hati dengan status "istri"nya. Bagi para istri, saya menghimbau agar mendiskusikan makalah ini dengan suaminya. Atau untuk para calon istri, sebelum akad tiba, diskusikan makalah ini dengan calon suami kalian. Perlu anda tahu, makalah ini ditulis oleh seorang laki-laki. Bukan wanita. Berikut saya sampaikan makalah tersebut. Jangan berhenti membaca di tengeh jalan agar tidak terjadi kesalah pahaman.
Muqadimah
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk menganggap memasak,
mendidik anak-anak, membersihkan rumah, dan melayani suami sebagai kerjaan
istri. Istri yang tidak mau melakukan salah satu kerjaan tersebut dianggap
istri yang tidak berkompeten dan tidak layak dianggap sebagai istri yang ideal.
Suamipun terkadang tidak mau menerima kekurangan istri tersebut sehingga sering
memarahi, menyindir bahkan sampai memukul karena tidak puas dengan pekerjaan
istri di rumah. Tidak heranlah kalau kaum wanita sekarang ini menganggap
pekerjaan sebagai ibu rumah tungga adalah pekerjaan rendahan karena memang
banyak suami yang memperlakukan istrinya seperti babu.
Bayangkan istrinya disuruh kerja dari pagi sampai sore:
membersihkan rumah, mengurus anak-anak dan malamnya masih mengurus suaminya
lagi. Bila makanan istri tidak enak, suami bisa marah besar. Bila istri lupa
menyetrika baju kerja suaminya, bisa membuahkan kata-kata sinis terhadap
istrinya. Tambahan lagi, tanggung jawab pendidikan anak-anak yang secara keseluruhan
diserahkan kepada istrinya. Sehingga ketika prestasi belajar anaknya menurun,
lagi-lagi istrinya yang kena marah.
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Bagi yang belum menikah atau merencanakan untuk menikah, bijaknya
adalah memberikan perlakukan istri dengan baik. Kenapa begitu? Karena
sebenarnya tugas isteri hanya tinggal buka mulut dan suami yang berkewajiban
menyuapi makanan ke mulut isterinya. Tidak ada kewajiban isteri untuk belanja
bahan mentah, memasak dan mengolah hingga menghidangkannya. Semua itu pada
dasarnya kewajiban seorang suami. Seandainya suami tidak mampu melakukannya
sendiri, tetap saja pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi isteri untuk
melaksanakannya. Kalau perlu suami harus menyewa pembantu atau pelayan untuk
mengurus makan dan urusan dapur.
Bahkan memberi nafkah kepada anak juga bukan kewajiban isteri.
Suami itulah yang punya kewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Jangan heran kalau memberi air susu ibu juga bukanlah kewajiban isteri. Tetapi
kewajiban itu pada dasarnya ada pada suami. Kalau perlu, istri bisa meminta
upah kepada suaminya karena telah menyusui anaknya.
Itulah hak dan kewajiban suami istri kalau dilihat dari sudut hitam putih saja.
Masalah ini kalau tidak dijelaskan dengan sempurna akan menimbulkan salah paham
karena idenya sama dengan yang di bawa oleh kelompok Islam Liberal. Coba
perhatikan apa yang Islam Liberal katakan:
Seorang Ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya kodrati
seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat diluar qodrati
itu dapat dilakukan oleh seorang Bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat
diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan
minum dan menjaga keselamatan keluarga. ( Isu-Isu Gender dalam Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Menengah, hal. 42-43).
Apa yang kaum liberal itu inginkan adalah suami tinggal di rumah
untuk mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan si istri bekerja di
luar rumah. Inilah yang dinamakan emansipasi wanita kata mereka. Sebaliknya
menurut saya ini dinamakan Queen
Control. Apa yang dituntut dalam agama Islam tidak demikian.
Masing-masing istri dan suami semestinya mengerti tugasnya,
sehingga tidak berbuat yang memberatkan pihak lain. Dalam islam ada mushalahah
perjanjian dengan baik-baik, hal ini seperti yang dilakukan oleh Ali bin Abit
Thalib dengan istrinya, pasangan yang berada dibawah naungan kenabian ini
membuat perjanjian dimana Fatimah Zahra meminta tugas dalam rumah tangga
dibagi, tugas dalam rumah adalah tugasnya sebagai istri dan diluar rumah adalah
tugas bagi suami, namun pada aplikasinya Ali bin Abi Thalib tidak hanya bekerja
diluar rumah, dia juga melakukan pekerjaan-pekerjaan didalam rumah.
Apa yang terjadi di Indonesia bisa jadi berasal dari ajaran
Fatimah hanya saja terpotong sehingga seolah-olah itu adalah kewajiban seorang
istri, padahal itu adalah bagian dari sebuah perjanjian, dan seorang suami
tetap dalam batas kewajibannya, bahwa semua tugas rumah tangga sebenarnya
adalah tugasnya tapi seorang istri yang baik jelas tidak mungkin hanya
membiarkan suami bekerja dirumah dan diluar rumah sedang dirinya hanya
bersantai bagaikan seorang putri, dan suami bekerja bagaikan kuli.
Tetap saja kesetimbangan itu diperlukan.
Hubungan Dari Sisi Moral, Etika dan Hubungan Sosial
Selain dilihat dari sisi hitam putih, kita juga patut melihat dari
sisi moral, etika dan hubungan sosial, karena ada sisi-sisi lain seperti rasa
cinta, saling memiliki, saling tolong, saling merelakan hak dan saling punya
keinginan untuk membahagiakan pasangannya.
Sehingga seorang isteri yang pada dasarnya tidak punya kewajiban
atas semua hal itu, dengan rela dan ikhlas melayani suaminya, belanja untuk
suami, masak untuk suami, menghidangkan makan di meja makan untuk suami, bahkan
menyuapi makan untuk suami kalau perlu. Semua dilakukannnya semata-mata karena cinta dan
sayangnya kepada suami. Dengan semua hal itu, tentunya isteri akan menerima
pahala yang besar dari apa yang dikerjakannya. Karena dengan bantuannya itu,
seortang suami akan sangat terbantu, dan bisa melaksanakan tugasnya sebagai
seorang suami, sebagai seorang ayah, sebagai salah satu anggota keluarga dan
anggota masyarakat dengan baik, jelas istri yang mendukung suami untuk terus
berada dalam kebaikan dan bertindak sesuai aturan akan mendapatkan pahala yang
besar.
Jika hubungan suami istri adalah hubungan yang salaing mendukung
dan menguntungkan maka pasangan itu akan memanen kebaikan dan pahala dari Allah
SWT, akan menjadi manusia-manusia yang dicintai Allah swt. Suami mendapat
pahala karena sudah melaksanakan kewajibannya, yaitu memberi hartanya untuk
nafkah isterinya, mengerjakan tugas-tugas yang mampu ia lakukan dirumah. Isteri
mendapat pahala karena membantu meringankan beban suami. Mendapatkan pahala
karena telah menjaga suami sehingga tidak melakukan tindakan yang mendatangkan
murka Allah.
Seperti Itulah hubungan cinta antara suami dan isteri, hubungan
yang tidak hanya sekedar hubungan hak dan kewajiban. Tentu saja ketika seorang
isteri mengerjakan hal-hal yang pada dasarnya menjadi kewajiban suami, maka
wajar bila suami mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang
tulus. Suami sudah semestinya tidak menutup mata atas apa yang sudah dilakukan
istri untuk keluarga.
Jadi kalau istri kita memasak makanan yang tidak enak, lupa
menggosok baju kerja, lupa membayar tagihan listrik, tidak tahu bagaimana
mengajar matematika kepada anak kita, maka anda tidak ada hak untuk
memarahinya. Kenapa begitu? Karena itu semua sebenarnya adalah tugas kita
sebagai seorang suami yang dikerjakan oleh istri kita secara sukarela.
Istri Tidak Berkewajiban Menafkahi Anak-Anak Yang Ditinggalkan
Oleh Suaminya
Bahkan kalau si suami meninggalpun, tanggung jawab menafkahi
anak-anak bukan urusan si istri. Tapi ayah dari suami yang bertanggung jawab
Walaupun si istri kemudian bekerja dan memiliki penghasilan
sendiri, tapi secara hakikatnya, dia tetap tidak diwajibkan untuk membiayai
anak-anaknya sendiri. Tapi bila sebagai ibu ingin memberikan nafkah pada
anaknya, dia akan mendapat pahala sunnah.
Harta Istri
Harta isteri adalah harta milik isteri, baik yang dimiliki sebelum
menikah atau pun setelah menikah. Harta isteri setelah menikah yang terutama
adalah dari suami dalam bentuk nafaqah (nafkah), selain juga mungkin bila
isteri itu bekerja atau melakukan usaha yang bersifat bisnis.
Khusus masalah nafkah, sebenarnya nafkah sendiri merupakan
kewajiban suami dalam bentuk harta benda untuk diberikan kepada isteri. Segala
keperluan hidup isteri mulai dari makanan, pakaian dan tempat tinggal, menjadi
tanggungan suami.
Namun yang biasa terjadi, sebagian kalangan beranggapan bahwa
nafkah suami kepada isteri adalah biaya kehidupan rumah tangga saja. Padahal
kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu merupakan
‘gaji’ atau honor dari seorang suami kepada isterinya. Adapun keperluan rumah
tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah dan semuanya,
sebenarnya tidak termasuk nafkah suami kepada isteri. Karena kewajiban
mengeluarkan semua biaya rumah tangga itu bukan kewajiban isteri, melainkan
kewajiban suami.
Kalau suami menitipkan amanah kepada isterinya untuk membayarkan
semua biaya itu, boleh-boleh saja. Tetapi tetap saja semua biaya itu belum bisa
dikatakan sebagai nafkah buat isteri. Sebab yang namanya nafkah buat isteri
adalah harta yang sepenuhnya menjadi milik isteri. Nafkah itu
‘bersih’ menjadi hak isteri, di luar biaya makan, pakaian, bayar sewa rumah dan
semua keperluan sebuah rumah tangga.
Kalau dipikir-pikir, seorang perempuan yang kita nikahi itu, sejak
kecil telah dibiayai oleh kedua orang tuanya. Pastilah orang tua itu sudah
mengeluarkan biaya yang sangat besar sampai anak perawannya siap dinikahi. Lalu
tiba-tiba kita datang melamar si anak perawan itu begitu saja, bahkan kadang
emas kawinnya cuma seperangkat alat sholat tidak lebih dari nilai seratus ribu
rupiah.
Sudah begitu, dia diwajibkan mengerjakan semua pekerjaan kasar
layaknya seorang pembantu rumah tangga. Mulai dari subuh sudah bangun dan
memulai semua kegiatan, urusan anak-anak kita serahkan kepada mereka semua,
sampai urusan atap rumah bocor. Sudah lelah bekerja seharian, malamnya
masih harus melayani suaminya.
Jadi sebenarnya wajar dan masuk akal kalau untuk isteri ada
nafkah eksklusif di
mana mereka dapat hak atas ‘honor’ atau gaji dari semua jasa yang sudah mereka
lakukan sehari-hari. Uang itu sepenuhnya milik isteri dan suami tidak boleh
meminta dari uang itu untuk bayar listrik, sewa rumah, uang sekolah anak, atau
keperluan lainnya.
Dan kalau isteri itu pandai menabung, anggaplah tiap bulan isteri
menerima ‘gaji’ sebesar sejuta perak yang utuh tidak diotak-atik, maka pada
usia 20 tahun perkawinan, isteri sudah punya harta yang lumayan 20 x 12 = 240
juta rupiah.
Lumayan kan?
Nah harta itu milik isteri 100%, karena itu adalah nafkah dari
suami. Kalau suami meninggal dunia dan ada pembagian harta warisan, harta itu
tidak boleh ikut dibagi waris. Karena harta itu bukan harta milik suami, tapi
harta milik isteri sepenuhnya. Bahkan isteri malah mendapat bagian harta dari
milik almarhum suaminya melalui pembagian waris.
* Makalah ini ditulis ulang oleh Suparno dengan memberikan
beberapa penambahan dan pengurangan
Begitulah isi makalah tersebut. Wahai para istri, masihkah engkau berkecil hati? Ladang pahalamu sangat luas. Jangan berkecil hati. Wahai para suami, masihkah engkau meremehkan istrimu yang sangat mulia? Wahai saudara ipar istri, wahai mertua istri, ketahuilah, bahwa istri dari saudara laki-lakimu/anak laki-lakimu tidak wajib melakukan pekerjaan rumah dan segala tetek bengeknya. Mengertikah kalian?